BAB VII
Aku terbangun karena suara gaduh di
depan rumah. Setelah kuintip sekilas dari jendela di lantai atas, ternyata
banyak orang-orang berseragam dengan perlengkapan kameranya. Banyak truk-truk
dengan badan yang ditempelkan logo stasiun televise. Orang-orang muda yang
ditugaskan kesini tersebut membawa microphone dan dengan hebohnya mengoceh
tentang kasus Agung Hutama yang tidak hadir terus-terusan dalam rapat
pengadilan.
Papa. Papaku masih dirawat di rumah
sakit, dan tentu saja ia terus menolak untuk ditemui karena kondisinya yang
masih belum stabil. Tifusnya masih belum sembuh sepenuhnya, dan memang Mama
menginginkannya untuk terus bermalam di rumah sakit. Kondisi beliau masih
pucat. Seperti yang sudah diduga, media massa memberitakan yang aneh-aneh. Papa
kabur ke luar negeri bersama simpanannya lah, atau ia yang jangan-jangan punya
rumah di luar negeri dan bersembunyi disana. Sebetulnya, kami tidak terlalu
peduli hingga akhirnya fitnah-fitnah penyalahgunaan dana tersebut sangat
mengganggu kesejahteraan keluarga kami.
Carlos, yang muncul dari kamarnya,
ikut bergabung berdiri di jendela bersamaku. Padahal masih jam tujuh pagi,
namun rusuhnya sudah seperti sore-sore saat berdesak-desakan mau antri
pembagian sembako. Orang-orang mengambil lokasi berbicara didepan kamera dengan
rumah kami sebagai latar belakangnya. Nomor rumah kami, 13, juga ikut
kelihatan. Astaga.
Aku pun memberi kode mata pada
Carlos, dan untungnya ia langsung paham. Kami berdua turun ke lantai bawah dan
menemukan Mama yang sedang termenung di meja makan. Beliau tidak berekspresi
apa-apa, namun aku bisa merasakan pikirnnya yang kusut. Aku pun mendekatkan
badanku padanya, dan merangkulnya pelan. Ia masih diam tanpa ekspresi ketika
Carlos duduk di sisinya yang satu lagi. Aku pun berbisik pelan untuk menghibur
Mama, walaupun diriku sebetulnya juga bingung. “Apa yang harus kita lakukan,
Ma?”
Jam terus berdetik ketika pintu rumah
kami di ketok-ketok. Detik demi detik berlalu dengan begitu mencekamnya.
Suasana hening tidak seperti biasanya. Rasanya jantungku juga berdetak dengan
hebohnya saat ini. Aku juga mulai bisa mendengar tetangga-tetanggaku
ramai-ramai berkerumun untuk menyaksikan kejadian ini. Ya ampun, apakah manusia
itu betul-betul harus masuk ke dalam hidup orang lain dan kemudian
mengolok-oloknya?
“Permisi, ini dari stasiun televisi
Gagak. Tolong dibukakan pintunya!” Jam tujuh lewat lima menit, kami masih
terdiam saat pintu diketuk dengan semakin kerasnya. Kami sudah tidak saling
melihat lagi. Berada di dunia yang runtuh itu terkadang seperti mati rasa. Rumah
ini, Jakarta ini, bumi ini, aku ingin pergi dari perabadan tersebut. Seandainya
bisa kabur ke luar angkasa, aku akan melakukannya sekarang dengan senang hati.
Lelaki bersuara berat di depan pintu masih belum menyerah. “Kalau tidak
dibukakan, kami bisa mendobraknya, lho!”. Tanpa diduga, Mama langsung berdiri
dan berlari menuju pintu depan tersebut. Aku tersentak kaget dan cemas. “Ma!
Apa yang Mama lakukan?!”
Ia pun memutar kunci pintu dan
membukanya lebar-lebar, membuat sinar-sinar dari kamera di depan masuk ke dalam
rumah. Mama menyipitkan matanya sebentar, menyesuaikan diri dengan pencahayaan
yang super banyak tersebut. Seandainya kamera-kamera tersebut meliput karena
prestasiku, bukan karena masalah seperti ini. Andai saja aku tidak bodoh dan
bisa membuat Mama muncul di media akibat menang lomba, atau dipanggil presiden
karena mendapatkan nilai ujian paling tinggi. Seringkali, aku malu kepada
diriku sendiri. Carlos membelalak saat Mama betul-betul melangkah keluar dan
menghampiri wartawan-wartawan di depannya, tanpa menunduk ataupun goyah
sedikitpun. Mama dengan wibawanya bertanya keras. “Ada yang bisa saya bantu,
bapak-bapak?”
“Ya pemirsa, ini adalah istri dari
Agung Hutama yang berhasil kami temui dalam liputan langsung saat ini. Selamat sore
Bu, kami minta keterangannya ya.” Cowok berkacamata yang masih agak canggung
tersebut berceloteh sambil melihat kameraman yang memberikannya kode anggukan
untuk langsung memulai sesi tanya jawab. Mama dengan santainya menatap kamera.
Mungkin banyak orang tidak menyadarinya, namun matanya berkilat marah. Aku pun
memutuskan untuk ikut keluar dan menemani Mama, membuat wartawan-wartawan
disitu semakin heboh. Aku pun memotong kalimat si pewawancara yang menoleh
terhadapku. “Saya Kelly Hutama.”
“Baiklah pemirsa, ternyata putri
bungsu dari Agung Hutama juga mau membantu memberi informasi.” Si cowok
tersebut mengangguk sembari melihatku. Wajahnya berminyak dan tubuhnya dikujuri
keringat, pasti ia sudah stand by di
depan rumahku sejak subuh tadi. Entah mengapa gesturnya menunjukkan kalau ia
salah tingkah. Aku menyentuh lengan kurus Mama, berusaha memberinya kekuatan.
Si wartawan yang kini mendekati Mama mulai bersuara kembali. “Ibu, bagaimanakah
keadaan Pak Agung Hutama saat ini?”
“Tidak sehat, beliau sedang sakit
tifus.” Ujar Mama santai tanpa gentar. Ia berdiri tegak dan tidak terlihat
gugup. Toni, si pewawancara yang namanya kulihat melalui name tag di seragam hitamnya, kembali mengembalikan microphonenya.
Ia pun mulai mencatat-catat sampai ia didorong oleh wartawan lain karena gemas.
“Ah, kamu mah lama kerjanya!”. Alhasil, Toni pun minggir dan digantikan oleh
wanita berseragam hitam yang tampaknya lebih senior darinya. Selagi Mama berceloteh
membantah semua fitnah yang dituduhkan kepada Papa, aku pun jadi terfokus pada
Toni yang diam membisu. Aku bisa melihat ke matanya kalau ia sedih. Mungkin, ia
adalah orang yang mirip denganku. Si pencanggung yang diremehkan orang.
“Mengerti? Pak Agung tidak
melakukan penyelewangan dan kini ia tifus.” Mama mulai lelah dengan pertanyaan
berentet yang ditanyakan berulang kali. Ia sudah mulai sinis dan mengeluarkan
sarkasmenya. Aku tahu Mama hanya melakukannya jika ia merasa hal tersebut
keterlaluan. Biasanya, ia adalah seorang wanita lembut bijaksana dan rendah
hati. Mama selalu menasihatiku untuk berlaku baik, karena beliau adalah sosok
yang menjunjung tinggi sopan santun. Kini, kelembutan tersebut berubah menjadi
kesewotan. “Ada yang perlu ditanyakan lagi?”
“Oh, ya!” Mama mengambil microphone
saat pewawancara wanita sedang mau menutup liputan tersebut. Ia merampas
microphone tersebut saat liputan langsung, yang pasti akan membuatnya menjadi topik
pembicaraan lagi. Namun aku tahu Mama bukan orang yang peduli akan omongan
nggak penting orang lain, apalagi yang memang tidak benar. Kalau kita waras
kita ngalah saja, ujarnya berkali-berkali setiap aku menceritakan teman-teman
yang menggosipkan Papa. Mama berdiri langsung di depan kameraman, membuat
kamera-kamera dari sisi kiri dan kanannya juga langsung ikut menyeretnya. Mama
tersenyum kesal, dan tetap tidak goyah dan menunduk. “Jangan asal menuduh kalau
tidak ada bukti.”
Suasana langsung rusuh lagi.
Kameramen dan pewawancara mulai berpergian kembali. Kru dari stasiun televise Gagak
juga mulai membereskan peralatannya. Aku melihat Toni yang masih termenung
sendirian. Sosoknya kurus dan tinggi, membuatnya terlihat semakin lemah
dibandingkan rekan-rekan yang berbadan besar seperti Rambo. Toni
celingak-celinguk, dan akhirnya pandangan mata kami bertemu. Aku kaget saat
ternyata ia berjalan perlahan menemuiku, memberikan senyum lemas namun tulus. “Halo
Kelly.”
“Ehm.. hai?” Aku membalasnya
bingung. Apakah yang harus kulakukan dalam kondisi seperti ini?
Ngomong-ngomong, ia setinggi Carlos walaupun Toni pasti jauh lebih tua darinya.
Aku menatap dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki, canggung tentang apa
yang harus kulakukan sekarang. Cowok tersebut menyodorkan tangan kanannya, yang
kemudian langsung di lapnya dengan baju. Ya ampun, basahnya cukup keterlaluan
juga. Toni pun tersenyum memamerkan gigi-gigi rapinya saat akhirnya kami
berjabatan tangan. “Gue Toni.”
“Aku Kelly Hutama, kamu pasti udah
tahu.” Ujarku berusaha ramah dan memberikan senyum takut-namun-senang. Ia
mengangguk dan memberikannya kartu namanya kepadaku. Tulisan di kartu tersebut
berhuruf cetak cukup besar. Toni Winata, junior
reporter. Bahkan, dibawah namanya terdapat nomor telepon Toni yang bisa
dihubungi. Aku menganga menatap Toni yang mukanya bersemu kemerahan. “Terima
kasih tidak menyerangku.”
Ia pun langsung pergi menyusul truk
stasiun Gagak yang ternyata sudah siap pergi. Toni melambaikan tangan
malu-malu, sementara otakku masih mencerna kejadian yang tidak lazim ini.
Jangan-jangan, Toni akan lebih terlibat dengan kehidupanku setelah ini. Entah
tambah baik atau malah memburuk.
Aku, Mama, dan Carlos pun kembali
ke dalam rumah dan bersiap-siap pergi. Mama ke kantornya seperti biasa
menggunakan mobil, Carlos ke kampus, sementara aku akan naik ojek ke sekolah.
Aku memang sudah telat, namun apaboleh buat. Sepertinya aku sudah tidak peduli
mengenai peraturan bodoh dan menyebalkan itu. Pikiranku berubah setelah membaca
pesan singkat Gino yang sudah sampai dari sepuluh menit yang lalu.
From: Gino
Kelly, lo kok belom masuk? Gue
akhirnya ikut bolos pelajaran pertama deh, gue jemput lo ke sekolah sekarang ya.
Ya ampun Gino, aku tidak tahu apa
yang harus kulakukan tanpanya. Gino, si cowok yang kutemukan secara tidak
sengaja, ternyata seringkali menjadi malaikat pelindung yang sangat bisa
kuandalkan. Ia tidak pernah bohong, begitupun kali ini. Walau aku belum
menjawabnya, ia sudah hadir dengan motor kecil miliknya di depan pagar. Gino mengangguk
pada Mama yang langsung melesat pergi ke kantor dengan blazernya. Walaupun aku
tidak cerita kepada Mama nama cowok yang akhir-akhir ini menjadi temanku, namun
sepertinya Mama sudah bisa menebak kalau Gino inilah orangnya.
“Los, aku duluan ya!” ujarku
berteriak di dalam rumah, kemudian membawa tas ranselku dan duduk di jok
belakang. Padahal Carlos berbeda kelas denganku, namun aku terharu ia bisa tahu
aku belum sampai. Oh ya, lebih baik aku menanyakan hal tersebut padanya
langsung. “Gino, kok kamu tahu aku belum sampai kelas? Aku di kelas IPA kan
jauh dari kelas IPS di lantai bawah.”
“Sebetulnya gue emang tiap hari
ngecek lo ada di kelas atau enggak kok.” Ujar Gino santai, namun langsung
membuat ku batuk parah seperti nenek-nenek tersedak biji durian. Hatiku
langsung berdebar nggak karuan lagi. Dasar Gino, anak ini sama sekali nggak
bertanggung jawab membuatku dilihatin orang-orang di gang akibat batukku yang
selalu heboh ini. Aku tak bisa menahan bibirku untuk tidak tersenyum walaupun
aku tidak berbicara banyak. “Oh, gitu.”
Aku tahu aku di kelas bakal
dicuekkin teman-teman seperti biasa, namun kali ini aku tidak peduli. Hal yang
kupikirkan saat ini hanyalah hal yang bisa membuatku senang dan menyelesaikan
masalah. Aku sendiri sebetulnya juga tidak menyangka aku bisa ikut maju ke
depan kamera bersama Mama. Sepertinya, aku sudah bisa berani. Pasti karena
pengaruh Gino yang selalu menemaniku juga.
Setiap hal yang terjadi dan setiap
orang kutemui pasti memiliki peran, entah itu membuatku terkena masalah dan
menjadi kuat atau ia membantuku mengenali diri sendiri yang bahagia. Selain
biola, aku baru tahu ternyata manusia juga memiliki fungsi yang sama.