Sunday, March 6, 2016

Berlari dalam Harmoni- BAB VII~ Peran


BAB VII

Aku terbangun karena suara gaduh di depan rumah. Setelah kuintip sekilas dari jendela di lantai atas, ternyata banyak orang-orang berseragam dengan perlengkapan kameranya. Banyak truk-truk dengan badan yang ditempelkan logo stasiun televise. Orang-orang muda yang ditugaskan kesini tersebut membawa microphone dan dengan hebohnya mengoceh tentang kasus Agung Hutama yang tidak hadir terus-terusan dalam rapat pengadilan.

Papa. Papaku masih dirawat di rumah sakit, dan tentu saja ia terus menolak untuk ditemui karena kondisinya yang masih belum stabil. Tifusnya masih belum sembuh sepenuhnya, dan memang Mama menginginkannya untuk terus bermalam di rumah sakit. Kondisi beliau masih pucat. Seperti yang sudah diduga, media massa memberitakan yang aneh-aneh. Papa kabur ke luar negeri bersama simpanannya lah, atau ia yang jangan-jangan punya rumah di luar negeri dan bersembunyi disana. Sebetulnya, kami tidak terlalu peduli hingga akhirnya fitnah-fitnah penyalahgunaan dana tersebut sangat mengganggu kesejahteraan keluarga kami.

Carlos, yang muncul dari kamarnya, ikut bergabung berdiri di jendela bersamaku. Padahal masih jam tujuh pagi, namun rusuhnya sudah seperti sore-sore saat berdesak-desakan mau antri pembagian sembako. Orang-orang mengambil lokasi berbicara didepan kamera dengan rumah kami sebagai latar belakangnya. Nomor rumah kami, 13, juga ikut kelihatan. Astaga.

Aku pun memberi kode mata pada Carlos, dan untungnya ia langsung paham. Kami berdua turun ke lantai bawah dan menemukan Mama yang sedang termenung di meja makan. Beliau tidak berekspresi apa-apa, namun aku bisa merasakan pikirnnya yang kusut. Aku pun mendekatkan badanku padanya, dan merangkulnya pelan. Ia masih diam tanpa ekspresi ketika Carlos duduk di sisinya yang satu lagi. Aku pun berbisik pelan untuk menghibur Mama, walaupun diriku sebetulnya juga bingung. “Apa yang harus kita lakukan, Ma?”

Jam terus berdetik ketika pintu rumah kami di ketok-ketok. Detik demi detik berlalu dengan begitu mencekamnya. Suasana hening tidak seperti biasanya. Rasanya jantungku juga berdetak dengan hebohnya saat ini. Aku juga mulai bisa mendengar tetangga-tetanggaku ramai-ramai berkerumun untuk menyaksikan kejadian ini. Ya ampun, apakah manusia itu betul-betul harus masuk ke dalam hidup orang lain dan kemudian mengolok-oloknya?

“Permisi, ini dari stasiun televisi Gagak. Tolong dibukakan pintunya!” Jam tujuh lewat lima menit, kami masih terdiam saat pintu diketuk dengan semakin kerasnya. Kami sudah tidak saling melihat lagi. Berada di dunia yang runtuh itu terkadang seperti mati rasa. Rumah ini, Jakarta ini, bumi ini, aku ingin pergi dari perabadan tersebut. Seandainya bisa kabur ke luar angkasa, aku akan melakukannya sekarang dengan senang hati. Lelaki bersuara berat di depan pintu masih belum menyerah. “Kalau tidak dibukakan, kami bisa mendobraknya, lho!”. Tanpa diduga, Mama langsung berdiri dan berlari menuju pintu depan tersebut. Aku tersentak kaget dan cemas. “Ma! Apa yang Mama lakukan?!”

Ia pun memutar kunci pintu dan membukanya lebar-lebar, membuat sinar-sinar dari kamera di depan masuk ke dalam rumah. Mama menyipitkan matanya sebentar, menyesuaikan diri dengan pencahayaan yang super banyak tersebut. Seandainya kamera-kamera tersebut meliput karena prestasiku, bukan karena masalah seperti ini. Andai saja aku tidak bodoh dan bisa membuat Mama muncul di media akibat menang lomba, atau dipanggil presiden karena mendapatkan nilai ujian paling tinggi. Seringkali, aku malu kepada diriku sendiri. Carlos membelalak saat Mama betul-betul melangkah keluar dan menghampiri wartawan-wartawan di depannya, tanpa menunduk ataupun goyah sedikitpun. Mama dengan wibawanya bertanya keras. “Ada yang bisa saya bantu, bapak-bapak?”

“Ya pemirsa, ini adalah istri dari Agung Hutama yang berhasil kami temui dalam liputan langsung saat ini. Selamat sore Bu, kami minta keterangannya ya.” Cowok berkacamata yang masih agak canggung tersebut berceloteh sambil melihat kameraman yang memberikannya kode anggukan untuk langsung memulai sesi tanya jawab. Mama dengan santainya menatap kamera. Mungkin banyak orang tidak menyadarinya, namun matanya berkilat marah. Aku pun memutuskan untuk ikut keluar dan menemani Mama, membuat wartawan-wartawan disitu semakin heboh. Aku pun memotong kalimat si pewawancara yang menoleh terhadapku. “Saya Kelly Hutama.”

“Baiklah pemirsa, ternyata putri bungsu dari Agung Hutama juga mau membantu memberi informasi.” Si cowok tersebut mengangguk sembari melihatku. Wajahnya berminyak dan tubuhnya dikujuri keringat, pasti ia sudah stand by di depan rumahku sejak subuh tadi. Entah mengapa gesturnya menunjukkan kalau ia salah tingkah. Aku menyentuh lengan kurus Mama, berusaha memberinya kekuatan. Si wartawan yang kini mendekati Mama mulai bersuara kembali. “Ibu, bagaimanakah keadaan Pak Agung Hutama saat ini?”

“Tidak sehat, beliau sedang sakit tifus.” Ujar Mama santai tanpa gentar. Ia berdiri tegak dan tidak terlihat gugup. Toni, si pewawancara yang namanya kulihat melalui name tag di seragam hitamnya, kembali mengembalikan microphonenya. Ia pun mulai mencatat-catat sampai ia didorong oleh wartawan lain karena gemas. “Ah, kamu mah lama kerjanya!”. Alhasil, Toni pun minggir dan digantikan oleh wanita berseragam hitam yang tampaknya lebih senior darinya. Selagi Mama berceloteh membantah semua fitnah yang dituduhkan kepada Papa, aku pun jadi terfokus pada Toni yang diam membisu. Aku bisa melihat ke matanya kalau ia sedih. Mungkin, ia adalah orang yang mirip denganku. Si pencanggung yang diremehkan orang.

“Mengerti? Pak Agung tidak melakukan penyelewangan dan kini ia tifus.” Mama mulai lelah dengan pertanyaan berentet yang ditanyakan berulang kali. Ia sudah mulai sinis dan mengeluarkan sarkasmenya. Aku tahu Mama hanya melakukannya jika ia merasa hal tersebut keterlaluan. Biasanya, ia adalah seorang wanita lembut bijaksana dan rendah hati. Mama selalu menasihatiku untuk berlaku baik, karena beliau adalah sosok yang menjunjung tinggi sopan santun. Kini, kelembutan tersebut berubah menjadi kesewotan. “Ada yang perlu ditanyakan lagi?”

“Oh, ya!” Mama mengambil microphone saat pewawancara wanita sedang mau menutup liputan tersebut. Ia merampas microphone tersebut saat liputan langsung, yang pasti akan membuatnya menjadi topik pembicaraan lagi. Namun aku tahu Mama bukan orang yang peduli akan omongan nggak penting orang lain, apalagi yang memang tidak benar. Kalau kita waras kita ngalah saja, ujarnya berkali-berkali setiap aku menceritakan teman-teman yang menggosipkan Papa. Mama berdiri langsung di depan kameraman, membuat kamera-kamera dari sisi kiri dan kanannya juga langsung ikut menyeretnya. Mama tersenyum kesal, dan tetap tidak goyah dan menunduk. “Jangan asal menuduh kalau tidak ada bukti.”

Suasana langsung rusuh lagi. Kameramen dan pewawancara mulai berpergian kembali. Kru dari stasiun televise Gagak juga mulai membereskan peralatannya. Aku melihat Toni yang masih termenung sendirian. Sosoknya kurus dan tinggi, membuatnya terlihat semakin lemah dibandingkan rekan-rekan yang berbadan besar seperti Rambo. Toni celingak-celinguk, dan akhirnya pandangan mata kami bertemu. Aku kaget saat ternyata ia berjalan perlahan menemuiku, memberikan senyum lemas namun tulus. “Halo Kelly.”

“Ehm.. hai?” Aku membalasnya bingung. Apakah yang harus kulakukan dalam kondisi seperti ini? Ngomong-ngomong, ia setinggi Carlos walaupun Toni pasti jauh lebih tua darinya. Aku menatap dirinya dari ujung rambut sampai ujung kaki, canggung tentang apa yang harus kulakukan sekarang. Cowok tersebut menyodorkan tangan kanannya, yang kemudian langsung di lapnya dengan baju. Ya ampun, basahnya cukup keterlaluan juga. Toni pun tersenyum memamerkan gigi-gigi rapinya saat akhirnya kami berjabatan tangan. “Gue Toni.”

“Aku Kelly Hutama, kamu pasti udah tahu.” Ujarku berusaha ramah dan memberikan senyum takut-namun-senang. Ia mengangguk dan memberikannya kartu namanya kepadaku. Tulisan di kartu tersebut berhuruf cetak cukup besar. Toni Winata, junior reporter. Bahkan, dibawah namanya terdapat nomor telepon Toni yang bisa dihubungi. Aku menganga menatap Toni yang mukanya bersemu kemerahan. “Terima kasih tidak menyerangku.”

Ia pun langsung pergi menyusul truk stasiun Gagak yang ternyata sudah siap pergi. Toni melambaikan tangan malu-malu, sementara otakku masih mencerna kejadian yang tidak lazim ini. Jangan-jangan, Toni akan lebih terlibat dengan kehidupanku setelah ini. Entah tambah baik atau malah memburuk.

Aku, Mama, dan Carlos pun kembali ke dalam rumah dan bersiap-siap pergi. Mama ke kantornya seperti biasa menggunakan mobil, Carlos ke kampus, sementara aku akan naik ojek ke sekolah. Aku memang sudah telat, namun apaboleh buat. Sepertinya aku sudah tidak peduli mengenai peraturan bodoh dan menyebalkan itu. Pikiranku berubah setelah membaca pesan singkat Gino yang sudah sampai dari sepuluh menit yang lalu.

From: Gino

Kelly, lo kok belom masuk? Gue akhirnya ikut bolos pelajaran pertama deh, gue jemput lo ke sekolah sekarang ya.

Ya ampun Gino, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpanya. Gino, si cowok yang kutemukan secara tidak sengaja, ternyata seringkali menjadi malaikat pelindung yang sangat bisa kuandalkan. Ia tidak pernah bohong, begitupun kali ini. Walau aku belum menjawabnya, ia sudah hadir dengan motor kecil miliknya di depan pagar. Gino mengangguk pada Mama yang langsung melesat pergi ke kantor dengan blazernya. Walaupun aku tidak cerita kepada Mama nama cowok yang akhir-akhir ini menjadi temanku, namun sepertinya Mama sudah bisa menebak kalau Gino inilah orangnya.

“Los, aku duluan ya!” ujarku berteriak di dalam rumah, kemudian membawa tas ranselku dan duduk di jok belakang. Padahal Carlos berbeda kelas denganku, namun aku terharu ia bisa tahu aku belum sampai. Oh ya, lebih baik aku menanyakan hal tersebut padanya langsung. “Gino, kok kamu tahu aku belum sampai kelas? Aku di kelas IPA kan jauh dari kelas IPS di lantai bawah.”

“Sebetulnya gue emang tiap hari ngecek lo ada di kelas atau enggak kok.” Ujar Gino santai, namun langsung membuat ku batuk parah seperti nenek-nenek tersedak biji durian. Hatiku langsung berdebar nggak karuan lagi. Dasar Gino, anak ini sama sekali nggak bertanggung jawab membuatku dilihatin orang-orang di gang akibat batukku yang selalu heboh ini. Aku tak bisa menahan bibirku untuk tidak tersenyum walaupun aku tidak berbicara banyak. “Oh, gitu.”

Aku tahu aku di kelas bakal dicuekkin teman-teman seperti biasa, namun kali ini aku tidak peduli. Hal yang kupikirkan saat ini hanyalah hal yang bisa membuatku senang dan menyelesaikan masalah. Aku sendiri sebetulnya juga tidak menyangka aku bisa ikut maju ke depan kamera bersama Mama. Sepertinya, aku sudah bisa berani. Pasti karena pengaruh Gino yang selalu menemaniku juga.

Setiap hal yang terjadi dan setiap orang kutemui pasti memiliki peran, entah itu membuatku terkena masalah dan menjadi kuat atau ia membantuku mengenali diri sendiri yang bahagia. Selain biola, aku baru tahu ternyata manusia juga memiliki fungsi yang sama.

Thursday, March 3, 2016

fiction: Kamu

Suasana hening saat gadis berambut panjang tersebut mulai membuka komputer jadul pemberian sang ayah. Sore tersebut tenang, ia sudah selesai makan bersama dengan kedua adik-adiknya. Kini, ia berada di kamarnya sendiri dan tersenyum mengingat kejadian di sekolah pagi harinya.

**

Hari tersebut sedang diadakan acara sosialisasi kurikulum di sekolah. Seperti biasa, Laras duduk dengan ketiga sohibnya. Mereka sudah berteman sejak pertama masuk SMA Pengharapan tersebut, dan ditahun ketiga mereka bersama keakraban mereka tidak berkurang. Laras selalu gemas melihat Bella yang kecil dan imut. Ia juga selalu senang berdiskusi dengan Aya yang pintar dan bervisi, dan tak lupa juga menggosipkan lagu dan tren gaya hidup terbaru dengan Pia yang tergolong cewek popular di sekolah. Laras sendiri tidak merasa special walaupun teman-temannya bilang ia dewasa dan bijak seperti seorang filsuf.

Laras yang saat itu menguncir rambut bergelombangnya tidak terlalu mendengarkan kepala sekolah yang bercuap-cuap mengenai aturan lama yang dinilai tidak efisien.

'Sistem skors yang lama diubah rentang waktunya menjadi lebih panjang agar anak-anak bias disiplin'

Suasana gaduh, dan Laras tahu betul teman-teman seangkatannya tidak terlalu mendengarkan. Bangku-bangku merah kecil semuanya penuh, namun ternyata sudah banyak kepala yang tumbang, alias ketiduran. Banyak yang bersender pada teman disebelahnya. Sebetulnya, Laras sendiri merasa ngantuk. Satu jam berbicara dan Bu Lina, sang kepala sekolah yang tidak terlalu akrab dengan murid-murid, topiknya masih berputar-putar di sistem skors saja walaupun tak ada yang menanyakannya. Astaga, kepala Laras pusing saking ngantuknya.

'Kalau tidak jera, anak-anak bisa dikenakan sanksi lebih dahsyat, yaitu dikeluarkan dari sekolah'

Sepertinya kata-kata menakutkan Bu Lina tidak menjadi masalah besar. Anak-anak pasti lebih memikirkan ke kantin mana mereka akan mencari makan pada istirahat setengah jam lagi. Aula sekolah yang dingin membuat Laras tambah ngantuk. Ia memijit-mijit kepala yang tambah pusing.

"Sini, senderan sama gue."

Laras langsung menengok ke arah pemiliki suara nge-bass tersebut. Cowok tersebut ternyata sedari tadi duduk disebelah Laras dan kini ia memamerkan cengiran nakalnya. Laras menengok ke arah Bella, Aya dan Pia yang ternyata sudah sibuk sendiri dengan gadget dan ponsel. Mereka sudah tidak saling berbicara lagi, namun sibuk dengan dunia sendiri-sendiri. Laras menengok lagi ke si cowok yang bernama Mio tersebut, yang masih saja memberi tatapan usil pada Laras. Cowok ini biasanya pendiam, sehingga Laras merasa aneh dengan perubahan sikap yang mendadak. Akhirnya, Laras pun memutuskan untuk menuruti kenekadannya. "Boleh".

'Kemudian, sistem denda pun akan kami ketatkan.'

Bu Lina masih mengoceh tanpa didengarkan karena semua sudah jenuh. Wanita paruh baya tersebut sebetulnya baik, kalau saja beliau bisa lebih berbaur dengan murid-murid dan rekan-rekan guru. Guru-guru sekalipun sudah saling berbincang dan ribut sendiri. Semua bising, namun Laras dan Mio masuk ke dalam dunia kami sendiri juga. Mio, cowok kelas lain yang pernah membantu Laras menyelesaikan tugas piket, bercerita soal arahan kuliah teknik mesinnya. Ia sedikit menyenderkan kepalanya ke rambut panjang dibahunya, yang langsung membuat hati malang Laras melonjak keras. Mio, si pelaku kejahatan tersebut, tanpa rasa bersalah melanjutkan ceritanya. "Aku sudah tes di universitas swasta oke dan aku sudah diterima."

"Selamat ya, Mio." Laras berucap tulus sambil sesekali melirik ke teman-teman disebelahnya yang tampaknya tidak menyadari apa yang dilakukannya. Laras memang tidak pernah terbuka mengenai orang-orang yang ia kagumi ataupun sukai. Untuk apa pula diomongkan, menurutnya. Laras menyimak penjelasan visi masa depan Mio yang sudah terang benderang bagaikan kobaran api. Mio yang berpostur tinggi dan bermata tajam menggoyangkan bahunya ke depan dan ke belakang, membuat kepala Laras ikut terayun-ayun. Aneh, hati Laras berdesir-desir karenanya.

"Laras, nanti sore mau temani aku ke toko buku?" ajaknya pelan. Laras, yang masih menuruti kenekadannya, mengangguk pelan. Ia pun menyadari Bu Lina yang tampak kesal dan mulai meminta murid-murid kelas dua belas tersebut untuk fokus kembali. Laras menegakkan kepalanya dan mencolek Bella di sebelahnya yang sudah tertidur pulas. Ia tertawa melihat tingkah imut Bella yang mengucek-ngucek mata sipit manisnya. Semua temannya tidak tahu apa-apa, namun Laras tahu betul Mio menyelipkan sebuah kertas robekan kecil ke atas pangkuannya. Cowok tersebut menggelengkan kepalanya, melarang Laras untuk membukanya saat itu juga. Ia pun berbisik misterius sambil melihat Laras sekilas. "Nanti saja, Ras".

**

Laras masih memikirkan Mio yang menggunakan kaos oblong hitam sore harinya saat ia menjemputnya dari ekstrakulikuler biola di sekolah. Ia masih teringat Mio yang menggandeng tangannya dan memperlihatkan kesukaannya pada pensil cetek. Mio juga mengajak Laras ke rak buku-buku fiksi dan menceritakan dengan antusias kesukaannya pada hal-hal yang tak tergapai logika. Laras tersenyum saat Mio mengantarnya pulang tepat jam lima sore. Cowok tersebut dengan anehnya salah tingkah dan meminta Laras membaca kertas notes pemberiannya nanti malam.

Saat ini, Laras berusaha memfokuskan dirinya pada permainan bola di layar komputer namun ia tidak bisa. Ia memikirkan tulisan di secarik kertas tersebut. Tulisan tersebut bersambung dan menggunakan pulpen hitam, ternyata tulisan tangannya mungil dan keren sekali. Mata Laras beranjak dari layar computer dan untuk kesekian kalinya membaca secarik kertas tersebut.

Laras..
Kamu, yang namanya selalu kulihat setiap masuk toko buku
Kamu jugalah yang selalu kuharapkan untuk terlihat sekilas dari sudut pandangku
Laras..
Apalah dayamu dan juga apalah dayaku
Jika kita memang menjadi kutub yang sama
Secara alami keduanya saling menolak selama ini
Aku melihatmu, kau menoleh pergi
Kau melihatku, aku menoleh pergi
Ras..
Mungkin, hidup ini memang keras
Namun, jangan menyerah
Karena aku ingin mengajakmu menjadi dirimu sendiri
Aku ingin kau tahu aku merindukan mata besarmu
Aku selalu memerhatikanmu tanpa kata, Ras
Karena, aku sayang kamu
Bolehkah aku menjadi milikmu
Karena ternyata, hatiku telah memilihmu?

Cewek tersebut memutuskan untuk mematikan computer dan tersenyum di atas ranjang. Ia heran, mengapa permintaan miliknya bisa terkabul secepat ini. Laras ingat hatinya berdebar-debar saat Mio membantunya menghapus papan tulis dan menyapu kelas. Ruangan kelas yang sebetulnya ramai menjadi tidak mengerikan lagi bagi Laras yang pemalu. Ia terharu mengingat Mio yang memperlakukannya tidak sebagaimana orang lain memandangnya sebelah mata. Dan kini, permintaanya didengarkan.

Laras pergi tidur, membiarkan waktu memisahkan ia dan Mio untuk sementara. Karena besok akan menjadi hari yang bersejarah, tentu saja Laras ingin mengistirahatkan kepala sakitnya terlebih dahulu. Keajaiban bisa terjadi pada saat-saat yang aneh, dan cewek tersebut menemukan keajaiban tersebut pada Mio. Cewek tersebut pun membalikkan notes pemberian Mio dan menuliskan sesuatu dengan pulpen hitam yang dibelinya atas rekomendasi Mio. Ia tersenyum saat melihat lembaran kosong tersebut sudah terisi sesuatu.

Ya. Kamu, Mio..
 

Tuesday, March 1, 2016

Berlari dalam Harmoni- BAB VI~ Tidak boleh mengecewakan


Orang-orang yang berkerumun di pintu gerbang mendadak saling menikung penuh energy saat pintu raksasa tersebut dibuka. Para penjaga yang sudah siap didalam memeriksa tiket setiap orang untuk memastikan tidak ada kecurangan dalam pelaksanaan konser musik klasik tersebut. Aku dan Carlos ikut menyodorkan tiket yang diberikan Gino kemarin harinya secara gratis. Aku sudah memaksa untuk membayar, namun Carlos keras kepala dan menganggapnya sebagai dukungan untuk dirinya. Biar nggak terlalu gugup, katanya. Padahal kalau aku jadi dia, aku akan tambah nervous jika dilihat oleh orang-orang yang kukenal. Namun sekali lagi, aku tahu Carlos berbeda dan aku cukup menyukai perbedaan tersebut. Ups.

Sore itu sebetulnya menjadi panas dikarenakan ramainya orang-orang, namun aku tetap berusaha menikmati angin sepoi-sepoi. Tubuhku yang dibalut oleh kaos berlengan panjang berwarna merah muda cukup merasa adem, dan sebetulnya deg-degan juga. Perasaanku yang malang kini menjadi makin tidak karuan mengingat aku akan melihat Gino bermain klasik. Si anak berseragam berantakan yang akan menjadi sosok berbeda akan kusaksikan malam ini juga. Ya ampun, perutku geli tak karuan akibat terlalu memikirkannya. Bagaimana jika ternyata ia menggunakan gel pada rambutnya, kemudian aku akan semakin mengaguminya? Apa yang akan terjadi pada rencana belajar bareng kami selanjutnya, aku tidak akan bisa duduk dihadapannya secara normal lagi!

“Kel.” Carlos mencolekku, ia menatap orang-orang di kiri dan kanan dengan gelisah.  Padahal sebelum berangkat aku sempat mengingatkannya untuk melakukan terapi napas yang diajarkan Kak Rina, sang psikolog yang nggak pernah bosan untuk mendengarkan cerita Carlos. Beliau juga menganjurkan tips-tips berguna saat menghadapi kepanikan, dan manfaatnya terasa sampai pada aku juga. Carlos sudah akrab dengan beliau dan keduanya semakin akrab. Ya, aku akui Carlos sudah sedikit mendingan karena tahu cara mengatasi pemikiran-pemikiran anehnya. “Cepat yuk cari tempat di dalam, aku takut para penguntitku akan menemui aku.”

“Iya, kita harus cari tempat duduk kosong dulu.” Aku dan kakakku yang menggunakan kemeja berlengan panjang berwarna hitam saat ini bergegas masuk melalui lorong-lorong dingin yang dijaga ketat. Saat melihat kiri kanan, aku bisa melihat pigura-pigura yang berisi foto dan artikel-artikel koran bersejarah mengenai tempat konser ini. Gedung tersebut megah dan didominasi warna putih, aku menyukai nuansa klasik dan jaman dulu yang sepertinya memang sudah dikonsepkan. Karpet merah yang selalu kami injak dari suatu ruangan menuju ruangan lainnya menjadi ciri khas yang sangat menyenangkan. Aku menggandeng Carlos yang sepertinya sedang berpikir  tak karuan mengenai dirinya yang akan dibunuh. “Ke arah sana, Los.”

“Wah!” Kami masuk ke dalam sebuah ruangan yang diawasi lagi oleh dua orang penjaga berseragam hitam, kemudian dengan noraknya melihat sekeliling. Luas sekali! Sepertinya suara-suara dengan mudahnya akan menggema ke sekujur ruangan. Diatas banyak balkon-balkon serba guna, dan panggung besar di hadapan kursi-kursi merah kami masih ditutup tirai merah. Dinding-dinding yang berwarna hitam membuatku menganggapnya semakin keren. Carlos melupakan sejenak tentang kepanikannya, ia tersenyum mengamati sekitarnya. Andai saja rumah kami juga semegah ini!

“Sepertinya sudah mau mulai, Kel.” Carlos menunjuk kursi-kursi yang mulai dipenuhi pengunjung. Oh iya, bukan kami saja yang terlihat keren saat itu. Ibu-ibu, bapak-bapak, dan para muda-mudi di sekeliling kami juga mengenakan setelan formal. Gaun biru sepanjang kaki, rok berenda panjang berwarna krem, bahkan tak jarang terlihat lelaki yang mengenakan setelan jas hitam-putih. Suasana terlihat seperti sebuah pesta dansa pada masa-masa dahulu. Astaga, indah sekali rasanya. Dalam hati, aku berterima kasih karena Tuhan sudah mempertemukanku dengan Gino dan membuatku dapat merasakan perasaan aneh sejenis ini. Aku melihat jam tangan pink di tangan kiriku dan melihat jam yang tertera. 18.58. Baiklah, pertunjukan akan segera mulai karena ternyata lampu-lampu sudah diremangkan. Aku duduk tegak, menepuk tangan Carlos yang gugup di sebelahku. “Nikmatin pertunjukkannya aja ya, Los.”

Tirai terbuka, menunjukan para pemusik yang sudah siap di kursi-kursi panjang ditengah panggung. Terlihat seorang bapak yang maju ke depan dan menunduk memberi hormat kepada penonton. Ia pun mengenakan setelan jas, walaupun warnanya berbeda sendiri dari pemusik-pemusik di belakangnya. Jas yang ia kenakan abu-abu berkilau. Tak lupa pula sebuah dasi berwarna merah yang melengkapi penampilannya malam itu. Mataku berlari sekeliling dan akhirnya menemukan apa yang ia cari. Seorang pria dalam setelan jas hitam yang terlihat senang, dan rapi. Gino!

Para pemusik mulai bermain mengikuti aba-aba sang kondektur di hadapan mereka. Aku menikmati emosi dalam permainan musik yang dimainkan. Harmoni-harmoni pada awalnya pelan, dan apa adanya. Membuatku merasa hilang dalam duniaku sejenak. Aku menatap Gino pada bagian piano pojok. Kedua tangan lentiknya menciptakan nada-nada rendah yang berat. Aku terhanyut dan akhirnya malah fokus memerhatikannya. Kacamata yang menemaninya tetap ada, namun ada sebuah pesona yang berbeda. Susah untuk mendeskripsikan jiwaku yang berdesir-desir saat ia mulai memainkan harmoni penuh energi. Lagu-lagu klasik tersebut seolah mempunyai nyawa setiap aku melihat Gino memberikan keseluruhan dirinya dalam permainan musiknya tersebut. Dalam hati, aku berdoa agar Gino selalu merasa sebahagia ini, pada saat ia mengalami harmoni dalam nada-nada yang ia mainkan.

“Ehm.” Carlos ternyata mencolek pundakku yang sudah diam terbeku untuk entah berapa lama. Kakakku itu membawaku kembali dari dunia lamunan, yang kuakui lebih indah dari kenyataan. Ternyata, sedari tadi mataku terpaku bengong pada Gino, sang teman sekolah yang kusukai. Ia nyengir usil melihatku yang semakin salah tingkah. Carlos terkekeh pelan, melihatku yang cemberut diledek seperti itu. “Nggak apa-apa kok, asal jangan sampai kesambet saja.”

Senyumku tersungging kembali saat Gino memulai lagu Canon in D-nya sendirian, sebelum diikuti oleh pianis-pianis pengiring lainnya. Aku mengagumi tubuhnya yang seperti hanyut dan bergoyang ke kiri dan ke kanan seiring dengan perasaan yang ingin harmoni tersebut sampaikan. Sesekali Gino tersenyum dan sesekali ia mengernyit. Terkadang ia terlihat sendu, dan terkadang pula ia terlihat berkobar-kobar. Gino, aku betul-betul berharap kamu bisa menjadi sebahagia itu setiap harinya.

**

“Makasih ya, Kelly dan Kak Carlos.” Gino tersenyum ramah sambil meminum jus jeruk yang telah kami pesan sebelumnya. Ia sudah melepaskan jas hitamnya, namun masih mengenakan kemeja putih berlengan panjangnya dan celana kain berwarna hitam yang sedikit kebesaran namun masih proporsional. Gino terlihat senang saat pasta-pasta pesanan sudah mulai berdatangan satu per satu, ia tersenyum kecil. “Kalian sudah bela-belain naik taksi ke sini, padahal nggak dekat juga.”

“Justru kami yang harus bilang terima kasih.” Ujarku pelan, merasa berhutang budi. Aku sudah melepaskan kunciran rambut yang sedari tadi kumiliki, kini rambut sebahuku terurai dengan sedikit gelombang-gelombang hasil kunciran kuda tersebut. “Kalau nggak ada kamu, No, kayaknya kami nggak bakalan kebayang gimana rasanya nonton konser musik.”

“Sama-sama, gue juga senang bisa sama orang-orang yang mendukung gue.” Ujar Gino yang kini tampak sedih. Aku pun mengingat kembali sepasang suami istri paruh baya yang tampak anggun dan tegas. Kedua orang tua Gino tersebut tadi datang dan mengenakan pakaian formal yang sangat mewah dan berkilau, yang ternyata membuat mereka menjadi tontonan juga. Saat Gino menghampiri mereka usai konser, mereka tidak merespon Gino dengan acungan jempol. Malah, mereka menyarankan Gino untuk jangan sering-sering membuang waktu untuk hobi-hobi yang tidak terlalu bermanfaat. Aku ingat betul mata dan raut sedih Gino saat keduanya pamit pulang duluan, walaupun Gino sudah mengajak mama dan papanya untuk makan malam bersama. Aku sedih saat mendengar mereka yang masih mempunyai janji bisnis dengan kenalan mereka dari luar negeri. Gino menepuk pundakku pelan. “Thanks ya, Kel.”

Setelah kedua orang tua Gino pergi, kami bertiga pun memutuskan untuk makan di restoran bergaya kebaratan tak jauh dari gedung konser tersebut. Suasana di restoran lebih kasual dari gedung konser, walaupun sama-sama bergaya jaman dulu. Dinding-dinding sekitar dibuat bercorak kertas tua, namun terdapat pigura-pigura berisikan lukisan-lukisan Eropa yang berwarna-warni. Bahkan, aku juga mengagumi lampu-lampu bermodel sangkar burung di atasku. Sangat inovatif dan kreatif, berpikir melampaui batas. Seandainya saja bisa, aku juga ingin menghasilkan sebuah karya, entah bagaimana caranya. Kembali dari lamunanku, aku mendecak usil sambil nyengir saat melihat kemeja Carlos yang belepetan saos spageti. Gino pun refleks mengambilkan napkin dan memberikannya pada kakakku itu. “Nggak apa-apa, Kak Carlos. Jangan tegang gitu, Kak!”

“Kamu deg-degan nggak, Gin?” Aku bertanya di saat kami sudah hening, tenggelam dalam kenikmatan hidangan pasta panas kami masing-masing. Kami bertiga memilih menu yang berbeda-beda. Aku mengambil penne carbonara, Carlos memilih spageti bolognaise, sementara Gino memutuskan untuk memakan lasagna saja. Tekstur lembut yang disertai bumbu yang hangat dimulut membuatku sangat menyukai makanan-makanan jenis ini. Aku menatap Gino yang meletakkan sendoknya dan berusaha untuk mengunyah habis keju leleh didalam mulutnya, pipinya yang menggembung tampak imut sekali. “Lumayan, tapi cuman menit-menit pertama doing. Setelah itu gue udah bisa mengontrol nervous itu.”

“Ngomong-ngomong,” ujar Gino yang membuat aku dan Carlos memberikannya perhatian seutuhnya. Suasana restoran cukup ramai namun untungnya masih nyaman untuk bercakap-cakap intim seperti ini. “Lo keren deh kalau rambut lo lagi nggak di kuncir kuda.”

“Eh,” Wush, panas dari kakiku langsung naik ke kepala seketika. Senyum yang tersungging di wajahku semakin tidak terkontrol. Aku yang saat ini tidak mengenakan polesan make up apapun mendadak menjadi rendah diri, mencari tahu apakah ada yang salah di hidungku ataupun jidatku. Duh.

“Cantik.” Ujar Gino sambil mengedipkan sebelah matanya, meninggalkan aku yang semakin tidak karuan. Carlos tampaknya tidak peduli dengan apa yang terjadi antar kami berdua, ia hanya mengangkat bahu cuek walaupun aku tahu anak itu sedikit menahan tawa. Kakakku ini senang sekali tertawa diatas penderitaan orang lain. Aku pun sadar aku belum memberi respon apapun, dan kemudian kebingungan. Astaga Kelly, berhentilah menjadi gugup! Aku menarik napas panjang dan menghentikan jariku yang ternyata sedari tadi menjadi mengetuk-ngetuk meja. “Umm.. Makasih loh, Gin.”

“Habis ini gue antar kalian berdua pulang, ya. Gue bawa mobil kok, jadi lo pada nggak perlu naik taksi lagi.” Ucap Gino, membuat Carlos mengangguk berterima kasih. Kedua lelaki tersebut kini sibuk berbicara tentang masalah kemacetan lalu lintas, sementara pikiranku mengawang entah kemana. Aku memikirkan sang bocah berkacamata dengan kemeja berantakan yang kini menjadi teman belajar barengku, berperan ganda pula sebagai teman berceritaku. Gino..

**

“Kalian habis dari mana?” ujar Papa saat aku dan Carlos masuk ke dalam rumah malam itu, walaupun kami sudah berusaha melakukannya dengan kegaduhan sesedikit mungkin. Mama dan Papa keduanya duduk di ruang tamu sambil menyalakan televise yang seperti biasa hanya menjadi peramai suasana. Volum yang diatur pun hanya pelan-pelan sehingga tidak memungkinkan siapa saja menjadi penonton dengan perhatian penuh. Mama, yang seperti Papa, sudah mengenakan baju tidur longgar, beranjak berdiri dan mengambil tas-tas kami untuk dibereskan. Memang itulah kebiasaan beliau, sejak kami masih kanak-kanak. Papa meneguk air putih hangat yang ada di cangkir di meja di hadapannya. “Kok kalian tidak bilang bakal pulang semalam ini? Sudah jam setengah sepuluh malam, lho.”

“Maaf, Pa.” Carlos mulai bicara. Kami memang tidak izin bakal pulang semalam ini, yang kami ucapkan hanyalah pergi hingga sore. Aku dan Carlos kini memang sewajarnya merasa bersalah karena telah melanggar jam malam yang sudah disepakati bersama. Namun, kapan lagi bukan kami bisa menikmati musik klasik secara gratis dan menyenangkan. Kapan lagi pula kami bisa memberi dukungan pada seorang teman yang begitu ambisius dengan kegiatan bermusik kesukaannya. Carlos mengajak Mama duduk kembali, dan kini kami berempat duduk di sofa yang sudah ada sejak sebelum Carlos lahir. “Tadi kami diajak makan dulu oleh teman kami. Maafkan kami ya, Pa.”. “Lain kali kabarilah dulu.” Papa berceloteh agak kesal dan tetap berusaha membaca majalah walaupun lampu sudah remang. “Jangan bikin Papa dan Mamamu ini khawatir, dong.”

“Papa nggak apa-apa?” Aku bertanya melihat wajahnya yang lebih pucat dari biasa. Ia pun sedari tadi terbatuk-batuk dengan tidak wajar, yang membuatku menjadi khawatir. Papa menepuk-nepuk jidatnya yang sebetulnya terlihat baik-baik saja. Pria tersebut menarik napas panjang, membetulkan posisi duduknya sambil membalikkan lembar majalah walaupun aku tahu betul ia tidak fokus. “Papa tidak apa-apa, Nak. Hanya sedikit sakit kepala.”

“Pa.” Aku lagi-lagi mengumpulkan keberanian, mengingat hubungan orang tua anak yang sedikit menjauh akhir-akhir ini. Carlos dan Mama juga menatapku, walaupun Mama tidak berhenti menyeruput air putih. Cangkir mereka berdua memang bernilai besar karena Papa-lah yang memberikannya sepasang pada Mama pada kencan pertama mereka. “Nilai aku di sekolah sedikit pas-pasan. Namun akhir-akhir ini ada teman yang belajar bareng dan mendukungku.”

“Baguslah, Kel.” Sambung Mama yang akhirnya buka suara. Rambutnya dikuncir asal namun tidak memudarkan pesona hangat dan lembutnya. Aku terkadang merasa sedih belum bisa melakukan apa-apa yang membuat Mama bangga padaku. Bahkan sepertinya, kerjaanku hanya menyusahkan mereka melulu. Aku selalu bermimpi kapan aku bisa membawa mereka pada sebuah panggung yang membuat mereka bangga karena telah berhasil membesarkan aku. Baiklah, aku harus berjanji untuk melakukan yang terbaik untuk ujian nasionalku tahun depan. Mama mengelus pahaku lembut, memberikanku sebuah kehangatan yang menyenangkan. “Kalau itu positif, Mama dukung kok. Bertemanlah sebanyak-banyaknya, dan banyaklah belajar tentang apapun dari orang-orang.”

“Ma,” Papa akhirnya mulai berujar dengan nada berat. Aku tahu betul kalau Papa bernada seperti ini, itu artinya pria tersebut sedang serius. Super serius. Papa meminum air putih lagi dan mengeluarkan sebuah surat resep dokter. Tunggu, aku bahkan tidak tahu Papa tadi habis dari rumah sakit? Anak tidak berguna macam apa aku ini, aku pun mulai mengutuk diriku yang sering egois. “Papa sepertinya mulai tifus dan lemas.”

Kami mulai panik dan mengerumuni Papa. Carlos apalagi, anak itu pun bernegosiasi dan memaksa Papa yang terus menolak untuk dirawat di rumah sakit. Dasar Papa, orang itu memang terlalu sok kuat dan meremehkan bantuan orang lain. Carlos dan Mama akhirnya memutuskan untuk menculik paksa Papa yang sudah pusing sejak tadi pagi untuk dirawat di rumah sakit, sementara pandanganku terarah ke televisi. Pembawa acara di televisi sedang sibuk bercerita tentang kasus penyelewengan dana yang dilakukan Agung Hutama, pejabat ternama di Indonesia.

Astaga, aku butuh harmoni-harmoni sebelum aku pulang ke rumah. Mereka tadi adalah sebuah pelarian yang cukup oke untuk meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Ayo Kelly, keadaan saat ini kurang baik, tapi kau harus terus berlari.

 

Berlari dalam Harmoni- BAB V~ Terus berlari


Orang-orang yang berkerumun di pintu gerbang mendadak saling menikung penuh energy saat pintu raksasa tersebut dibuka. Para penjaga yang sudah siap didalam memeriksa tiket setiap orang untuk memastikan tidak ada kecurangan dalam pelaksanaan konser musik klasik tersebut. Aku dan Carlos ikut menyodorkan tiket yang diberikan Gino kemarin harinya secara gratis. Aku sudah memaksa untuk membayar, namun Carlos keras kepala dan menganggapnya sebagai dukungan untuk dirinya. Biar nggak terlalu gugup, katanya. Padahal kalau aku jadi dia, aku akan tambah nervous jika dilihat oleh orang-orang yang kukenal. Namun sekali lagi, aku tahu Carlos berbeda dan aku cukup menyukai perbedaan tersebut. Ups.

Sore itu sebetulnya menjadi panas dikarenakan ramainya orang-orang, namun aku tetap berusaha menikmati angin sepoi-sepoi. Tubuhku yang dibalut oleh kaos berlengan panjang berwarna merah muda cukup merasa adem, dan sebetulnya deg-degan juga. Perasaanku yang malang kini menjadi makin tidak karuan mengingat aku akan melihat Gino bermain klasik. Si anak berseragam berantakan yang akan menjadi sosok berbeda akan kusaksikan malam ini juga. Ya ampun, perutku geli tak karuan akibat terlalu memikirkannya. Bagaimana jika ternyata ia menggunakan gel pada rambutnya, kemudian aku akan semakin mengaguminya? Apa yang akan terjadi pada rencana belajar bareng kami selanjutnya, aku tidak akan bisa duduk dihadapannya secara normal lagi!

“Kel.” Carlos mencolekku, ia menatap orang-orang di kiri dan kanan dengan gelisah.  Padahal sebelum berangkat aku sempat mengingatkannya untuk melakukan terapi napas yang diajarkan Kak Rina, sang psikolog yang nggak pernah bosan untuk mendengarkan cerita Carlos. Beliau juga menganjurkan tips-tips berguna saat menghadapi kepanikan, dan manfaatnya terasa sampai pada aku juga. Carlos sudah akrab dengan beliau dan keduanya semakin akrab. Ya, aku akui Carlos sudah sedikit mendingan karena tahu cara mengatasi pemikiran-pemikiran anehnya. “Cepat yuk cari tempat di dalam, aku takut para penguntitku akan menemui aku.”

“Iya, kita harus cari tempat duduk kosong dulu.” Aku dan kakakku yang menggunakan kemeja berlengan panjang berwarna hitam saat ini bergegas masuk melalui lorong-lorong dingin yang dijaga ketat. Saat melihat kiri kanan, aku bisa melihat pigura-pigura yang berisi foto dan artikel-artikel koran bersejarah mengenai tempat konser ini. Gedung tersebut megah dan didominasi warna putih, aku menyukai nuansa klasik dan jaman dulu yang sepertinya memang sudah dikonsepkan. Karpet merah yang selalu kami injak dari suatu ruangan menuju ruangan lainnya menjadi ciri khas yang sangat menyenangkan. Aku menggandeng Carlos yang sepertinya sedang berpikir  tak karuan mengenai dirinya yang akan dibunuh. “Ke arah sana, Los.”

“Wah!” Kami masuk ke dalam sebuah ruangan yang diawasi lagi oleh dua orang penjaga berseragam hitam, kemudian dengan noraknya melihat sekeliling. Luas sekali! Sepertinya suara-suara dengan mudahnya akan menggema ke sekujur ruangan. Diatas banyak balkon-balkon serba guna, dan panggung besar di hadapan kursi-kursi merah kami masih ditutup tirai merah. Dinding-dinding yang berwarna hitam membuatku menganggapnya semakin keren. Carlos melupakan sejenak tentang kepanikannya, ia tersenyum mengamati sekitarnya. Andai saja rumah kami juga semegah ini!

“Sepertinya sudah mau mulai, Kel.” Carlos menunjuk kursi-kursi yang mulai dipenuhi pengunjung. Oh iya, bukan kami saja yang terlihat keren saat itu. Ibu-ibu, bapak-bapak, dan para muda-mudi di sekeliling kami juga mengenakan setelan formal. Gaun biru sepanjang kaki, rok berenda panjang berwarna krem, bahkan tak jarang terlihat lelaki yang mengenakan setelan jas hitam-putih. Suasana terlihat seperti sebuah pesta dansa pada masa-masa dahulu. Astaga, indah sekali rasanya. Dalam hati, aku berterima kasih karena Tuhan sudah mempertemukanku dengan Gino dan membuatku dapat merasakan perasaan aneh sejenis ini. Aku melihat jam tangan pink di tangan kiriku dan melihat jam yang tertera. 18.58. Baiklah, pertunjukan akan segera mulai karena ternyata lampu-lampu sudah diremangkan. Aku duduk tegak, menepuk tangan Carlos yang gugup di sebelahku. “Nikmatin pertunjukkannya aja ya, Los.”

Tirai terbuka, menunjukan para pemusik yang sudah siap di kursi-kursi panjang ditengah panggung. Terlihat seorang bapak yang maju ke depan dan menunduk memberi hormat kepada penonton. Ia pun mengenakan setelan jas, walaupun warnanya berbeda sendiri dari pemusik-pemusik di belakangnya. Jas yang ia kenakan abu-abu berkilau. Tak lupa pula sebuah dasi berwarna merah yang melengkapi penampilannya malam itu. Mataku berlari sekeliling dan akhirnya menemukan apa yang ia cari. Seorang pria dalam setelan jas hitam yang terlihat senang, dan rapi. Gino!

Para pemusik mulai bermain mengikuti aba-aba sang kondektur di hadapan mereka. Aku menikmati emosi dalam permainan musik yang dimainkan. Harmoni-harmoni pada awalnya pelan, dan apa adanya. Membuatku merasa hilang dalam duniaku sejenak. Aku menatap Gino pada bagian piano pojok. Kedua tangan lentiknya menciptakan nada-nada rendah yang berat. Aku terhanyut dan akhirnya malah fokus memerhatikannya. Kacamata yang menemaninya tetap ada, namun ada sebuah pesona yang berbeda. Susah untuk mendeskripsikan jiwaku yang berdesir-desir saat ia mulai memainkan harmoni penuh energi. Lagu-lagu klasik tersebut seolah mempunyai nyawa setiap aku melihat Gino memberikan keseluruhan dirinya dalam permainan musiknya tersebut. Dalam hati, aku berdoa agar Gino selalu merasa sebahagia ini, pada saat ia mengalami harmoni dalam nada-nada yang ia mainkan.

“Ehm.” Carlos ternyata mencolek pundakku yang sudah diam terbeku untuk entah berapa lama. Kakakku itu membawaku kembali dari dunia lamunan, yang kuakui lebih indah dari kenyataan. Ternyata, sedari tadi mataku terpaku bengong pada Gino, sang teman sekolah yang kusukai. Ia nyengir usil melihatku yang semakin salah tingkah. Carlos terkekeh pelan, melihatku yang cemberut diledek seperti itu. “Nggak apa-apa kok, asal jangan sampai kesambet saja.”

Senyumku tersungging kembali saat Gino memulai lagu Canon in D-nya sendirian, sebelum diikuti oleh pianis-pianis pengiring lainnya. Aku mengagumi tubuhnya yang seperti hanyut dan bergoyang ke kiri dan ke kanan seiring dengan perasaan yang ingin harmoni tersebut sampaikan. Sesekali Gino tersenyum dan sesekali ia mengernyit. Terkadang ia terlihat sendu, dan terkadang pula ia terlihat berkobar-kobar. Gino, aku betul-betul berharap kamu bisa menjadi sebahagia itu setiap harinya.

**

“Makasih ya, Kelly dan Kak Carlos.” Gino tersenyum ramah sambil meminum jus jeruk yang telah kami pesan sebelumnya. Ia sudah melepaskan jas hitamnya, namun masih mengenakan kemeja putih berlengan panjangnya dan celana kain berwarna hitam yang sedikit kebesaran namun masih proporsional. Gino terlihat senang saat pasta-pasta pesanan sudah mulai berdatangan satu per satu, ia tersenyum kecil. “Kalian sudah bela-belain naik taksi ke sini, padahal nggak dekat juga.”

“Justru kami yang harus bilang terima kasih.” Ujarku pelan, merasa berhutang budi. Aku sudah melepaskan kunciran rambut yang sedari tadi kumiliki, kini rambut sebahuku terurai dengan sedikit gelombang-gelombang hasil kunciran kuda tersebut. “Kalau nggak ada kamu, No, kayaknya kami nggak bakalan kebayang gimana rasanya nonton konser musik.”

“Sama-sama, gue juga senang bisa sama orang-orang yang mendukung gue.” Ujar Gino yang kini tampak sedih. Aku pun mengingat kembali sepasang suami istri paruh baya yang tampak anggun dan tegas. Kedua orang tua Gino tersebut tadi datang dan mengenakan pakaian formal yang sangat mewah dan berkilau, yang ternyata membuat mereka menjadi tontonan juga. Saat Gino menghampiri mereka usai konser, mereka tidak merespon Gino dengan acungan jempol. Malah, mereka menyarankan Gino untuk jangan sering-sering membuang waktu untuk hobi-hobi yang tidak terlalu bermanfaat. Aku ingat betul mata dan raut sedih Gino saat keduanya pamit pulang duluan, walaupun Gino sudah mengajak mama dan papanya untuk makan malam bersama. Aku sedih saat mendengar mereka yang masih mempunyai janji bisnis dengan kenalan mereka dari luar negeri. Gino menepuk pundakku pelan. “Thanks ya, Kel.”

Setelah kedua orang tua Gino pergi, kami bertiga pun memutuskan untuk makan di restoran bergaya kebaratan tak jauh dari gedung konser tersebut. Suasana di restoran lebih kasual dari gedung konser, walaupun sama-sama bergaya jaman dulu. Dinding-dinding sekitar dibuat bercorak kertas tua, namun terdapat pigura-pigura berisikan lukisan-lukisan Eropa yang berwarna-warni. Bahkan, aku juga mengagumi lampu-lampu bermodel sangkar burung di atasku. Sangat inovatif dan kreatif, berpikir melampaui batas. Seandainya saja bisa, aku juga ingin menghasilkan sebuah karya, entah bagaimana caranya. Kembali dari lamunanku, aku mendecak usil sambil nyengir saat melihat kemeja Carlos yang belepetan saos spageti. Gino pun refleks mengambilkan napkin dan memberikannya pada kakakku itu. “Nggak apa-apa, Kak Carlos. Jangan tegang gitu, Kak!”

“Kamu deg-degan nggak, Gin?” Aku bertanya di saat kami sudah hening, tenggelam dalam kenikmatan hidangan pasta panas kami masing-masing. Kami bertiga memilih menu yang berbeda-beda. Aku mengambil penne carbonara, Carlos memilih spageti bolognaise, sementara Gino memutuskan untuk memakan lasagna saja. Tekstur lembut yang disertai bumbu yang hangat dimulut membuatku sangat menyukai makanan-makanan jenis ini. Aku menatap Gino yang meletakkan sendoknya dan berusaha untuk mengunyah habis keju leleh didalam mulutnya, pipinya yang menggembung tampak imut sekali. “Lumayan, tapi cuman menit-menit pertama doing. Setelah itu gue udah bisa mengontrol nervous itu.”

“Ngomong-ngomong,” ujar Gino yang membuat aku dan Carlos memberikannya perhatian seutuhnya. Suasana restoran cukup ramai namun untungnya masih nyaman untuk bercakap-cakap intim seperti ini. “Lo keren deh kalau rambut lo lagi nggak di kuncir kuda.”

“Eh,” Wush, panas dari kakiku langsung naik ke kepala seketika. Senyum yang tersungging di wajahku semakin tidak terkontrol. Aku yang saat ini tidak mengenakan polesan make up apapun mendadak menjadi rendah diri, mencari tahu apakah ada yang salah di hidungku ataupun jidatku. Duh.

“Cantik.” Ujar Gino sambil mengedipkan sebelah matanya, meninggalkan aku yang semakin tidak karuan. Carlos tampaknya tidak peduli dengan apa yang terjadi antar kami berdua, ia hanya mengangkat bahu cuek walaupun aku tahu anak itu sedikit menahan tawa. Kakakku ini senang sekali tertawa diatas penderitaan orang lain. Aku pun sadar aku belum memberi respon apapun, dan kemudian kebingungan. Astaga Kelly, berhentilah menjadi gugup! Aku menarik napas panjang dan menghentikan jariku yang ternyata sedari tadi menjadi mengetuk-ngetuk meja. “Umm.. Makasih loh, Gin.”

“Habis ini gue antar kalian berdua pulang, ya. Gue bawa mobil kok, jadi lo pada nggak perlu naik taksi lagi.” Ucap Gino, membuat Carlos mengangguk berterima kasih. Kedua lelaki tersebut kini sibuk berbicara tentang masalah kemacetan lalu lintas, sementara pikiranku mengawang entah kemana. Aku memikirkan sang bocah berkacamata dengan kemeja berantakan yang kini menjadi teman belajar barengku, berperan ganda pula sebagai teman berceritaku. Gino..

**

“Kalian habis dari mana?” ujar Papa saat aku dan Carlos masuk ke dalam rumah malam itu, walaupun kami sudah berusaha melakukannya dengan kegaduhan sesedikit mungkin. Mama dan Papa keduanya duduk di ruang tamu sambil menyalakan televise yang seperti biasa hanya menjadi peramai suasana. Volum yang diatur pun hanya pelan-pelan sehingga tidak memungkinkan siapa saja menjadi penonton dengan perhatian penuh. Mama, yang seperti Papa, sudah mengenakan baju tidur longgar, beranjak berdiri dan mengambil tas-tas kami untuk dibereskan. Memang itulah kebiasaan beliau, sejak kami masih kanak-kanak. Papa meneguk air putih hangat yang ada di cangkir di meja di hadapannya. “Kok kalian tidak bilang bakal pulang semalam ini? Sudah jam setengah sepuluh malam, lho.”

“Maaf, Pa.” Carlos mulai bicara. Kami memang tidak izin bakal pulang semalam ini, yang kami ucapkan hanyalah pergi hingga sore. Aku dan Carlos kini memang sewajarnya merasa bersalah karena telah melanggar jam malam yang sudah disepakati bersama. Namun, kapan lagi bukan kami bisa menikmati musik klasik secara gratis dan menyenangkan. Kapan lagi pula kami bisa memberi dukungan pada seorang teman yang begitu ambisius dengan kegiatan bermusik kesukaannya. Carlos mengajak Mama duduk kembali, dan kini kami berempat duduk di sofa yang sudah ada sejak sebelum Carlos lahir. “Tadi kami diajak makan dulu oleh teman kami. Maafkan kami ya, Pa.”. “Lain kali kabarilah dulu.” Papa berceloteh agak kesal dan tetap berusaha membaca majalah walaupun lampu sudah remang. “Jangan bikin Papa dan Mamamu ini khawatir, dong.”

“Papa nggak apa-apa?” Aku bertanya melihat wajahnya yang lebih pucat dari biasa. Ia pun sedari tadi terbatuk-batuk dengan tidak wajar, yang membuatku menjadi khawatir. Papa menepuk-nepuk jidatnya yang sebetulnya terlihat baik-baik saja. Pria tersebut menarik napas panjang, membetulkan posisi duduknya sambil membalikkan lembar majalah walaupun aku tahu betul ia tidak fokus. “Papa tidak apa-apa, Nak. Hanya sedikit sakit kepala.”

“Pa.” Aku lagi-lagi mengumpulkan keberanian, mengingat hubungan orang tua anak yang sedikit menjauh akhir-akhir ini. Carlos dan Mama juga menatapku, walaupun Mama tidak berhenti menyeruput air putih. Cangkir mereka berdua memang bernilai besar karena Papa-lah yang memberikannya sepasang pada Mama pada kencan pertama mereka. “Nilai aku di sekolah sedikit pas-pasan. Namun akhir-akhir ini ada teman yang belajar bareng dan mendukungku.”

“Baguslah, Kel.” Sambung Mama yang akhirnya buka suara. Rambutnya dikuncir asal namun tidak memudarkan pesona hangat dan lembutnya. Aku terkadang merasa sedih belum bisa melakukan apa-apa yang membuat Mama bangga padaku. Bahkan sepertinya, kerjaanku hanya menyusahkan mereka melulu. Aku selalu bermimpi kapan aku bisa membawa mereka pada sebuah panggung yang membuat mereka bangga karena telah berhasil membesarkan aku. Baiklah, aku harus berjanji untuk melakukan yang terbaik untuk ujian nasionalku tahun depan. Mama mengelus pahaku lembut, memberikanku sebuah kehangatan yang menyenangkan. “Kalau itu positif, Mama dukung kok. Bertemanlah sebanyak-banyaknya, dan banyaklah belajar tentang apapun dari orang-orang.”

“Ma,” Papa akhirnya mulai berujar dengan nada berat. Aku tahu betul kalau Papa bernada seperti ini, itu artinya pria tersebut sedang serius. Super serius. Papa meminum air putih lagi dan mengeluarkan sebuah surat resep dokter. Tunggu, aku bahkan tidak tahu Papa tadi habis dari rumah sakit? Anak tidak berguna macam apa aku ini, aku pun mulai mengutuk diriku yang sering egois. “Papa sepertinya mulai tifus dan lemas.”

Kami mulai panik dan mengerumuni Papa. Carlos apalagi, anak itu pun bernegosiasi dan memaksa Papa yang terus menolak untuk dirawat di rumah sakit. Dasar Papa, orang itu memang terlalu sok kuat dan meremehkan bantuan orang lain. Carlos dan Mama akhirnya memutuskan untuk menculik paksa Papa yang sudah pusing sejak tadi pagi untuk dirawat di rumah sakit, sementara pandanganku terarah ke televisi. Pembawa acara di televisi sedang sibuk bercerita tentang kasus penyelewengan dana yang dilakukan Agung Hutama, pejabat ternama di Indonesia.

Astaga, aku butuh harmoni-harmoni sebelum aku pulang ke rumah. Mereka tadi adalah sebuah pelarian yang cukup oke untuk meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Ayo Kelly, keadaan saat ini kurang baik, tapi kau harus terus berlari.

 

Berlari dalam Harmoni- BAB IV~ Bisa hidup terus


Kedua orang itu kembali ke rumah sore itu, setelah keduanya menyelesaikan pekerjaan di tempat masing-masing. Papa dari kantor dan rapat di gedung pemerintahan, sementara Mama baru saja dijemput Papa dari kantornya di sebuah rumah sakit. Papa yang mengenakan kemeja putih panjang selalu membawa tas kulit selempang kesayangannya, sementara Mama membawa tas jinjing berwarna merah. Suasana hening saat mereka masuk. Carlos mengurung diri di rumah akibat merasa tertekan, sementara aku duduk di ruang tamu dan tidak tahu mau berbuat dan berkata apa.

“Hai, Kelly.” Mama menyapaku yang menerawang nggak jelas di atas sofa empuk berwarna merah marun tersebut.  Beliau menaruh tasnya di sebuah kotak susun berwarna oranye. Kotak tersebut besar dan hampir menyentuh plafon ruang tamu, isinya adalah benda-benda seperti souvenir dan oleh-oleh dari luar kota. Bukan hanya itu, tapi Mama juga menyimpan barang-barang beliau seperti tas, sepatu, dan alat jahit di sana. Papa juga tak segan-segan memanfaat tempat dengan menitipkan obeng, bor, tang, pahat, dan segala peralatan beliau yang lainnya. Mereka terorganisir sekali sehingga tidak terlihat berantakan. Semuanya teratur dan enak di pandang. Wanita yang telah melepas kuncir rambutnya tersebut menempatkan dirinya disebelahku yang tampak selebor karena mengangkat kaki ke meja seenaknya. “Bagaimana sekolah hari ini?”

“Baik kok, Ma.” Aku menjawab sambil mengingat guru-guru yang dengan sengaja melongkapiku saat mengabsen. Sedih dan sakit rasanya. Aku tahu persis perasaan di saat kita terpuruk namun tetap harus profesional. Rasanya gemas dan kesal sekali. Di satu sisi, aku ingin mengeluarkan keluh kesah, namun aku juga tidak mau menambah beban orang lain. Diriku sendiri sudah cukup menyusahkan dan menyebalkan, dan akupun berpikiran untuk tidak mengungkit-ungkitnya. Tetap saja, aku tidak akan boleh menambah beban Mama dan Papa. Sebuah senyum kuberikan untuk menghapus kekhawatiran-kekhawatiran orang tuaku. “Seperti biasa, menyenangkan.”

Papa melepaskan beberapa kerah teratasnya dan duduk di sofa satu lagi yang berdiri miring Sembilan puluh derajat dari tempatku dan Mama. Beliau menggenggam secangkir air hangat dan meminumnya perlahan. Aku pun memerhatikan uban beliau yang semakin terlihat. Harus kusadari bahwa pria gagah tersebut semakin lama semakin tua, bukan aku saja yang semakin hari semakin gede dan banyak pikiran. Papa mengambil remot dan menyalakan televisi dengan suara yang samar-samar. Kami memang sering melakukannya bukan untuk menonton acara musik, pertandingan bola, ataupun berita, namun sekedar meramaikan suasana. Biasanya suara-suara tersebut selalu ampuh untuk mencairkan suasana. Papa menggulung celana kain panjangnya hingga lutut, kemudian ia memijat-mijat kaki. “Macet tadi lama banget yah, Papa sampai pegal nyetirnya.”

Memoriku kembali pada pagi harinya di kelas. Semua orang bernyanyi senang saat memberi kejutan ulang tahun kepada Freya, teman sekelasku. Gadis manis yang agak tomboy tersebut memang digemari semua orang karena supel, pandai berorganisasi, dan pandai dalam pelajaran pula. Ia cantik dan keren, secara tidak langsung aku mengakuinya sebagai idolaku. Oh iya, posisinya sebagai ketua OSIS membuatnya memiliki koneksi ke banyak orang dari berbagai angkatan. Nggak heran juga, dia banyak kenal dengan cowok-cowok yang akhirnya menyatakan perasaan suka kepadanya. Rambut panjang dan gigi gingsulnya memang membuat banyak orang terpesona dan jatuh hati. Anak itu hari ini berulang tahun ke-18. Satu kelas diam hingga jam istirahat, dan kemudian beberapa kakak kelas datang membawa kue sambil menyanyikan lagu wajibnya, ‘Happy Birthday’. Aku iri sekali. Penderitaanku belum selesai karena saat pulang sekolah, sebagian besar teman-teman di kelasku ikut memberinya kejutan ulang tahun dengan boneka-boneka dan kue lagi. Mereka semua tampak tulus dan bahagia. Apalagi Freya, wajahnya sudah berseri-seri bagaikan sang mentari di pagi hari. Terkadang, aku menyesali diriku sendiri yang nggak bisa bergaul.

“Ma.” Aku berujar pelan, berharap suaraku tetap nggak kedengaran. Cicak yang sedang bercerita cerewet di pojokan ruangan pun jadi terdengar besar di telingaku. Papa dan Mama melirikku tidak terlalu antusias, Mama tetap memainkan ponsel sementara Papa masih sibuk membolak-balik lembaran koran, mencari tahu apakah berita tentang dirinya sudah mereda. Semua keberanianku telah dikumpulkan, namun yang keluar tetaplah hanya lirihan kecil. “Nilaiku di sekolah akhir-akhir ini memburuk.”

“Kelly, kamu dulu kan rangking terus di sekolah.” Mama menatap dalam Kelly sambil menepuk pundaknya. Beliau memberi senyum yang berusaha menenangkanku, tapi perkataannya malah membuatku semakin khawatir. Sepertinya lama-lama aku mirip Carlos. Diriku yang payah ini terlalu takut mengecewakan semua orang. Aku yang masih bingung akhirnya mendekati posisi duduk Mama. Kali ini, aku sudah tidak selonjoran. Aku duduk cukup tegap. “Ma. Teman-temanku masih suka meledekku karena fitnah mengenai Papa.”

“Astaga, dasar penggosip-penggosip tidak ada kerjaan.” Papa akhirnya menoleh melihat dirinya ikut dibicarakan. Ia melipat koran tersebut kembali pada posisi semula, kemudian memutuskan untuk ikut bergabung dengan percakapan tersebut. Pembawa acara berita yang mengoceh di televisi masih tetap dicuekkin, seberapa antusias pun ia mengungkapkan masalah-masalah kontroversial di dunia politik Indonesia. Papa mengambil cangkir air hangatnya kembali dan menelan beberapa teguk sambil menarik napas panjang. “Mereka selalu ngurusin masalah orang lain, Kelly. Masalah kita.”

“Pa,” Aku masih bersuara kecil, nyaris berbisik. Jantungku berdebar kencang, wajahnya mulai panas. Keringatpun mulai menggenangi badan kecilku. Rambut sebahuku juga terlihat berminyak. Duh, pokoknya aku merasa gugup. Sore tersebut tidak banyak nyamuk, namun aku akhirnya malah merasa gatal-gatal sekujur tubuh. “Papa nggak terpikirkan untuk mengganti pekerjaan Papa? Papa nggak suka bekerja yang lebih tenang dari ini?”

“Papa sudah pernah berjanji pada diri Papa sendiri, Kel.” Papa yang lebih kelihatan lelah mendesah berat. Wajahnya yang mulai memunculkan keriput-keriput tampak betul-betul butuh istirahat, ia sudah mengalami banyak konflik beberapa tahun terakhir ini. Beliau belum berlibur tenang sekeluarga dengan kami, pula. Tentu saja, aku tidak terlalu memprotes mengenai hal itu. Aku juga masih tahu diri. Hidup sudah cukup susah, jangan di tambah susah. Papa yang sedari tadi mengangkat dan menaruh cangkir putih mungil akhirnya memberikannya pada Mama, meminta beliau untuk mengisikan air baru di cangkir kosong tersebut. “Seberapa susahnya hal ini, Papa akan terus berjuang dan berdedikasi. Keluarga besar Hutama dikenal dengan kehebatannya mempertahankan diri, Kelly.”

Beliau betul. Seandainya saja aku bisa menciptakan komitmen dan menjadi seulet Papaku. Entah mengapa, aku jadi merasa rendah diri. Aku tidak pernah mendengar keluhan Papa yang ingin keluar. Beliau mengeluh lelah, namun beliau tidak bilang ingin berhenti. Papa selalu mencari solusi dan jalan keluar dibandingkan memusingkan yang sudah-sudah. Ia bukan tipe terbuka, namun aku tahu beliau sebetulnya punya banyak pikiran yang berhasil ditampungnya sendiri. Tanpa merepotkan orang lain, baik Mama, Carlos, ataupun aku. Diriku yang gampang mengeluh membuatku merasa sangat manja. Sudah manja, tidak punya daya tahan sama sekali pula. Kurang parah apa aku?

Aku sekilas menatap televisi yang kini memunculkan nama lengkap Papa dalam sebuah teks. Agung Hutama, dalam tulisan besar-besar yang tentu saja bisa dilihat semua warga Indonesia dari Sabang sampai Merauka. Jangan melupakan juga warga-warga Indonesia yang tinggal di luar negeri yang tetap bisa mengakses televisi-televisi lokal. Lagi-lagi masalah politik. Orang yang betul-betul ingin bekerja malah mendapatkan banyak musuh. Beberapa orang yang mengambil jalur illegal malah dibela habis-habisan, dan tak jarang banyak yang menang. Papa yang sudah tampak tidak peduli malah melengos, dan kembali fokus pada komik bersambung di koran harian itu. Terkadang, aku merasa hidup ini tidak adil. Salahkah aku jika aku menyalahkan takdir yang telah digariskan? Astaga, si Kelly Hutama ini.

 

**

Aku masuk ke kamar Carlos di lantai dua. Sebetulnya, aku cukup mengkhawatirkan kamar kami yang berjauhan. Aku di lantai satu, Mama dan Papa di lantai satu, sementara Carlos memilih kamar terpencil di lantai dua. Terkadang, aku takut kakakku tersebut butuh pertolongan atau teman berbagi cerita. Aku tidak bisa menghilangkan rasa cemasku sendiri sehingga mengharuskan aku rajin-rajin naik dan mengetuk kamar Carlos. Perasaanku mewajibkanku untuk memastikan kakak kesayangan yang berbeda dua tahun denganku itu baik-baik saja.

“Halo, Kel.” Carlo yang sedang bersantai membaca buku teks kuliahnya menatapku. Pada saat-saat ia sibuk membaca, ia terlihat normal. Anak itu pandai sekali ‘bersembunyi’ dalam buku. Terkadang, aku iri padanya. Sepertinya diriku berbeda seratus delapan puluh derajat, aku baca komik saja suka pusing sendiri. Kamar bernuansa pop ngejreng Carlos seperti biasa rapi. Piala-piala kemenangan cerdas cermat dan pertandingan basket Carlos juga seperti biasa selalu nampang di meja dekat ranjangnya. Aku akhirnya memilih duduk di sebelah Carlos, di atas ranjang yang tidak terlalu luas itu. Desahan berat sudah tidak bisa kutahan lagi. “Hai. Kamu nggak apa-apa, Los?”

“Nggak apa-apa, kok. Orang-orang yang mengikutiku masih meneriakiku, tapi aku harus bersiap untuk kuis besok.” Ujar Carlos yang melari-larikan matanya pada teks buku yang penuh dengan rumus kecil-kecil tersebut. Ia hebat sekali tidak sakit kepala melihat tulisan dengan huruf yang tidak lebih besar dari gumpalan penghapus. Kalau aku, dijamin langsung sakit kepala setelah membaca paragraph pertama. Aku menikmati udara dingin dari pendingin ruangan di kamar Carlos. Nyaman sekali rasanya. Aku merasa ingin bercerita, dan tanpa pikir panjang aku segera mengeluarkan ponsel dari kantong celanaku.

To: Gino

Hai, Gin. Kamu lagi apa?

Aku melonjak senang saat ponselku bergetar hanya beberapa detik setelahnya. Layarku menyala heboh memberitahu adanya sebuah balasan yang kuterima. Aku membalikkan badan dan tengkurap di atas perutku, menikmati kasur dingin yang emang nggak pernah mengecewakan. Carlos tampak sedikit terganggu dengan kasur yang naik turun, namun akhirnya memutuskan untuk nggak peduli lagi.

From: Gino

Lagi mencoba-coba partitur lagu baru nih, Kel. Lo lagi ngapain? Ada apa enggak,  hari ini?

Anak ini sekarang merupakan satu-satunya temanku dan teman dekatku. Gino memiliki kedua posisi tersebut secara merangkap. Secara, teman-teman biasa saja aku tidak punya, apalagi teman dekat? Kini, Gino mengubah segalanya. Pola pikirku, sudut pandangku. Ah, laki-laki berkacamata dengan tampang cuek itu memang berbeda. Ia bersedia menemaniku dan pasti selalu perhatian setiap aku mengajaknya bercerita. Kami bercerita tentang banyak hal, walaupun seringkali hanya lewat pesan singkat. Aku terkadang bercerita soal masa depan, dan Gino terkadang bercerita betapa sekali ia ingin mengubah pikiran orang tuanya yang menganggap berkuliah jurusan musik adalah sia-sia dan tidak menjanjikan.

To: Gino

Gino.. menurut kamu, salah enggak kalau aku menyalahkan takdir? Aku menyalahkan Papa, dan terkadang aku juga menyalahkan teman-teman di kelas yang tidak mamu mendekatiku duluan. Atau, aku juga kesal dengan diriku yang salah dengan ketidakberanianku membuka lembaran baru

Terkirim. Ternyata, curahan hatiku panjang juga. Aku pun sering berpikir, mengapa Gino tidak pernah bosan dan lelah membalas semua pertanyaan-pertanyaan anehku? Mungkinkah ia sebetulnya risih denganku, namun tidak enak hati? Jangan-jangan, aku menyusahkannya juga.

To: Gino

No, maaf ya kalau aku sering banget mengganggu waktumu. Terkadang, aku merasa pusing memikirkannya sendiri. Tapi kalau kamu terganggu, kamu harus bilang dan nggak apa-apa kalau nggak mau bales lagi.

Lagi-lagi pesanku terkirim, tanpa membiarkan Gino memberi balasan apapun. Perasaanku selalu tidak enak setiap ada orang yang baik dan perhatian kepadaku. Hatiku selalu bilang kalau aku mengganggu orang tersebut. Mungkin saja, instingku benar dan aku harus lebih bisa menahan diri. Hidup sudah cukup susah, dan mungkin melibatkan orang lain adalah pilihan yang buruk? Aku menatap takut layar ponselku yang lagi-lagi menyala heboh.

From: Gino

Kelly, lo sama sekali nggak ganggu. Malah, gue senang kalau akhirnya bisa berguna dan membantu orang. Nah Kel, lo kayaknya butuh jalan-jalan. Gue ajak lo ke konser komunitas gue aja deh besok malam. Gimana? Ajak Carlos juga boleh, kok. J

Mulutku menganga lebar. Aku mencubit kulit tanganku sendiri dan malah meringis kesakitan, walaupun sambil sedikit tertawa. Ternyata, memang bukan mimpi. Ini adalah respon yang sama sekali tidak terpikirkan! Carlos menatap aneh aku yang mulai ketawa-ketawa dan merona sendiri. Ia membalikkan buku struktur dan konstruksi sipilnya, kemudian menyenggol lenganku iseng. “Ada apa, Kel?

“Los.” Aku masih tertawa kecil seperti orang yang betul-betul tidak waras. Tanganku mulai bergoyang ke kanan dan kekiri, membuat seluruh kasur Carlos ikut melonjak-lonjak. Kepalaku bergoyang-goyang tanpa arah yang jelas, aku mengibas-ngibaskan rambut bagaikan bintang rock di tengah konser metal. Aku pun meninggalkan sang pemilik ranjang yang masih kebingungan. Duh, dimanakah pengendalian diri Kelly yang biasanya? Aku masih terkikik malu sambil menari-nari kecil dengan lengan kiri dan kananku, rasanya bahagia sekali. “Besok temani aku ke konser musik klasik, ya.”

Aku tidak menjawab Carlos yang mengangguk antusias. Tanganku malah sibuk mengetik di ponsel, sembari merusaha menghentikan senyum ala manusia mabok beratku. Wajahku kini panas, dan ternyata ini bukan perasaan yang tidak enak. Malah, aku bagaikan memiliki stimulan untuk semangat dan melupakan kekesalan dan kesedihanku. Rasanya, aku bisa hidup terus jika terus merasa bahagia seperti ini. Mataku berbinar saat pesan baru telah berhasil terkirim.

To: Gino

Aku dan Carlos akan hadir, No. Kasih tahu alamatnya, ya. Nanti kami berdua naik taksi. Thanks udah ngajak! :-3

 

Berlari dalam Harmoni- BAB III~ Menikmati dulu

Sebuah gelas berisikan susu coklat hangat setia menemani aku dan Carlos selama berjam-jam. Kali ini, kami kembali nongkrong di ruang kosong di lantai dua. Jendela yang terbuka dan angin sepoi-sepoi yang mengaliri keseluruhan ruangan menjadi sebuah hal yang kami berdua nanti-nantikan. Aku tahu kakakku memang menyukai segala sesuatu yang simpel. Tidak perlu repot-repot membuat spageti dan kue-kue berwarna imut. Dua cangkir berisikan susu coklat yang dibeli di mini market pun sudah cukup menyenangkan.

Carlos terlihat lebih baik, walaupun sesekali masih ingin kabur. Ia memakai piyama baru dan bersih karena membuatnya merasa lebih baik. Laki-laki tersebut juga sering-sering keramas, memakai pewangi, dan melakukan hal-hal yang mampu menghilangkan, atau mengurangi, badai dalam pikirannya. Sesekali, ia mengamati ke jalanan di bawah melalui jalanan. Terkadang ia melakukannya sambil khawatir berat. “Mungkinkah pembunuh-pembunuh itu menyelinap masuk ke kamarku?”

“Tidak.” Aku tersenyum, berusaha mengurangi suramnya wajah. Tulang pipinya kini betul-betul terlihat, ia pasti sudah kehilangan banyak sekali kalori. Aku bersyukur dia belum pantang makan. Tentu saja, aku sebagai adik khawatir jika sakitnya malah merembet ke mana-mana. Piyama putihnya terasa wangi karena pelembut pakaian ku tambahkan saat di mesin cuci. Kurasa itu berefek baik dan membuat suasana Carlos menjadi lebih tenang. Aku, yang saat itu mengenakan kaos oblong berwarna hitam, menyeruput susu coklatku kembali sambil ikut melihat keluar. “Mereka tidak nyata, Kak Carlos.”

Aku tahu persis kakak yang berdiri di sebelahku itu tidak akan memercayainya. Namun, seperti yang kujanjikan pada diriku sendiri, aku tidak akan pernah bosan mengingatkannya. Fokusku kembali terarah pada angin semilir yang memainkan rambutku dan Carlos. Kami seperti dua anak hilang yang berdiri di depan jendela tanpa harapan. Ruangan tersebut memang terlihat kosong, namun tidak halnya dengan kegundahan kami semua. Dinding putih susu yang seperti biasa mendominasi membuat segalanya menjadi buram. Tanganku bersender pada railing jendela melebar ke samping itu, memunculkan lebih banyak kepalaku ke luar. “Apa yang kamu pikirkan tidak benar, Los.”

Posisi kami yang berada di lantai membuat angin bermain lebih heboh dari di lantai bawah. Aku melihat ke bawah, melihat tetangga-tetangga yang beraktivitas. Seorang pria muda membawa motor sambil mengangkut galon air, sebuah truk kecil membawakan sofa mungil berwarna merah, dan ada pula seorang ibu tua yang berjalan-jalan dengan anjing berbulu empuknya. Mereka semua terlihat normal dan senang. Aku menghela napas. “Mengapa aku sering bingung ketika melihat orang lain selain kita sendiri, Los?”

“Aku juga merasa orang-orang tersebut memiliki dunia yang berbeda.” Carlos ikut mengamati lorong sempit yang sudah menjadi pemandangan rutin tiap kami keluar rumah selama tujuh tahun terakhir. Setiap harinya terlihat sama saja, tanpa adanya perbedaan yang berarti. Hal yang kusadari selama ini hanyalah perbaikan lampu yang kini semakin terang dan tiang-tiang listrik yang semakin bertambah. Carlos menunjuk pada beberapa anak yang tertawa bermain lempar bola. “Menurut kamu, anak-anak itu jarang sedih, ya?”

“Pasti enggak, Los.” Aku berujar, melihat betapa bahagianya mereka saat bermandikan keringat. Keduanya saling sahut-menyahut girang, membuat bola kecil berwarna merah itu tidak jelas arah lemparnya. Teriknya matahari siang itu tidak mengurangi semangat membara keduanya. Rambut yang sudah lepek dan basah keringat tersebut juga tidak dipedulikan sama sekali. Tanpa sadar, aku jadi memainkan jari-jemariku. “Setiap orang punya masalah masing-masing”.

Carlos mengangguk sambil tidak melepaskan pandangan dari bocah-bocah tetangga seberang itu. Jalanan tersebut tidak terlalu luas namun juga tidak sempit sehingga memungkinkan banyaknya kegiatan fisik. Terkadang, ada anak-anak perempuan yang bermain lompat tali dan lompat-lompatan sambil bernyanyi. Tak jarang juga anak-anak remaja yang asik naik sepeda sambil saling bercerita melewati gang ini. Untung saja lampu penerangan kini sudah di perbaiki dan meminimalisir bahaya yang bisa saja terjadi akibat kurang pekanya penglihatan. Bayangkan, bagaimana ceritanya jika ada yang cedera akibat ditabrak motor?

Banyak orang memanfaatkan jalanan beraspal baik untuk bersenang-senang. Anak-anak tersebut rutin bermain beberapa hari sekali, membuat aku kadang merasa iri. Mengapa aku tidak bisa sesenang mereka?

“Los, mungkin kita juga butuh bergerak seperti itu?” Aku tiba-tiba terpikir. Mataku mengerjap-ngerjap akibat sinar matahari yang tiba-tiba silau. Awan-awan yang tadinya menutupi perlahan mulai bergeser. Mereka kembali membiarkan kami merasakan teriknya panas. Aku menatap Carlos yang sepertinya mendapat pencerahan ambigu, badanku semakin berdekatan dengan sosok tingginya. “Siapa tahu kamu juga bisa merasa lebih baik?”

“Kelly, kalau aku keluar rumah aku akan dibunuh.” Carlos tetap kekeuh pada keyakinannya. Keringat yang sedari tadi belum muncul tiba-tiba saja mulai mengalir sedikit demi sedikit. Dahinya mengernyit, walaupun Carlos masih terlihat tenang. Ia membayangkan sesuatu kemudian bergidik ngeri. “Kamu mau hadir di pemakamanku secepat itu?”

“Apaan sih, Los!” Aku menonjok pelan lengannya yang mulai kekurangan lemak. Kurusnya terlihat semakin ekstrim dan mengerikan. Lama-lama, ia terlihat seperti versi lelaki dari nenek sihir cungkring dengan hidungnya yang mengerikan. Tulang-tulang Carlos terlihat makin menonjol dan memprihatinkan. Bisa-bisa orang mengira ia tidak pernah makan kenyang selama berbulan-bulan. Aku menatap dirinya khawatir. “Nggak boleh ngomong begitu, tahu. Kamu berimajinasi.”

Carlos mengangkat bahunya, tampak tidak peduli dengan apapun yang kukatakan lagi. Burung-burung berkicau di atap rumah sebelah malah ia cuekin. Padahal, hal tersebut indah dan menghibur untukku. Mereka selalu berhasil membuatku senang dengan kicauan-kicauan cerewetnya. Aku semakin gemas melihat Carlos yang merosotkan tubuhnya di dinding dan kini berjongkok di bawah jendela. Secara refleks, aku menyejajarkan pandanganku dengannya. “Kak Rina juga menyarankan kamu untuk sering bergerak kan?”

Tanpa memedulikan anggukan yang ia berikan, aku mengeluarkan ponsel jadulku ini dan mulai membuka daftar lagu. Isi musik di ponselku tersebut adalah semua yang kusukai dan sering kudengarkan. Kebanyakan berisi lagu pop, walaupun tetap terdapat segelintir lagu klasik yang terselip di antaranya. Aku men-scroll lagu dan menaikkan alis saat menemukan lagu beirama cepat. Aku berpikir sejenak mengenai emosi yang di kandung lagu tersebut. Sebuah senyuman kecil tersungging saat aku berhasil menyadari lagu tersebut berpesan positif dan semangat. Tangan kecilku menarik lengan kurus Carlos untuk berdiri dan mulai menyalakan lagu milik Adera, seorang musisi yang kukagumi.

Saat ku tenggelam dalam sendu

Waktu pun enggan untuk berlalu

Ku berjanji tuk menutup pintu hatiku

Entah untuk siapapun itu

Mata Carlos terlihat geli melihatku yang kini mulai menari-nari nggak jelas. Entah itu aerobik atau modern dance, aku tidak peduli lagi. Kepala yang mendongak dan menunduk, naik dan turun. Tanganku sesekali terbentang ke atas dan ke bawah, dan juga ke kiri dan kanan tanpa konsistensi yang jelas. Jujur saja, kegiatan random seperti ini membuatku senang. Sepertinya, hal ini juga akan berpengaruh untuk Carlos. Aku menyenggol pundaknya sambil terus melompat-lompat nggak jelas. “Baiklah kalau kamu nggak mau ke depan, tapi kamu harus mau gerak-gerak sama aku sekarang.”

Semakin ku lihat masa lalu

Semakin hati tak menentu

Tetapi satu sinar terangi jiwaku

Saat kumelihat senyummu

Gigiku bermunculan dari senyum setelah Carlos mulai ikut memperlihatkan gerakan tarian robotnya. Baguslah, ia sudah mau mendengarkanku untuk hal ini. Ia melonjak-lonjak ke kanan dan ke kiri, laki-laki yang tadinya berpostur kekar tersebut sesekali berputar sembari melompat. Carlos melompat dan menginjak sekencang-kencangnya. Ia melampiaskan perasaan-perasaan buruk yang terus-menerus nemplok.

Dan kau hadir mengubah segalanya

Menjadi lebih indah

Kaubawa cintaku setinggi angkasa

Membuatku merasa sempurna

(Adera- Lebih Indah)

Kini, kami berdua seperti dua kambing liar yang lepas di kebun orang. Loncat sana, loncat sini, jinjit sana, tonjok udara ke kanan dan ke kiri. Menyenangkan sekali rasanya bisa menggila tanpa dikomentari orang-orang sok tahu. Aku benci dengan orang-orang yang gemar sekali membicarakan urusan orang lain yang nggak ada hubungannya dengan mereka. Semua fitnah menyebalkan, termasuk mengenai masalah Papa, membuatku muak dengan yang namanya manusia. Ah, senang sekali rasanya menjadi diri sendiri pada tempat-tempat sepi yang menyenangkan. Inilah aku dan duniaku.

**

Malam itu, aku sudah mandi dan berganti piyama. Carlos sudah kuantar ke kamarnya tadi dan ia pun berjanji akan segera tidur setelah ia merasa mengantuk. Setelah lelah berteriak dan melompat, sepertinya kemungkinan untuk tetap segar bugar semalaman cukup kecil. Aku pun sudah mulai menguap dan masih mengeringkan rambutku yang basah. Betul sekali, mencuci rambut dapat memberikan perasaan segar dan bersih yang sangat menyenangkan. Aku tengah menyisir rambut hitam sebahuku ketika ponselku bergetar pelan. Tanpa basa-basi, aku langsung meraih dan tersenyum melihat nama pengirim pesan itu. Gino.

From: Gino

Halo Kel. Lagi main biola?

Aku tertawa kecil, kemudian merebahkan diriku di atas ranjang yang didominasi warna merah muda tersebut. Tanganku gencar sekali mengetik untuk membalas pesan singkatnya, sampai banyak salah ketik segala. Merepotkan sekali ketika jariku kembali harus menghapus dan mengetik ulang, apalagi ketika layar proses ponselku cukup lamban. Cukup menguji kesabaran, namun tidak apa-apa karena kali ini Gino yang menghubungi.

To: Gino

Nggak, nih. Kemarin udah puas main di sekolah pas ketemu kamu.

Bayanganku sudah kemana-mana setelah pesan tersebut terkirim. Aku membayangkan Gino yang memakai jas hitam dengan pita merah, aku membayangkan kacamatanya yang dilepas, dan aku membayangkan sosoknya yang tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku.

Astaga, berhentilah berpikir yang tidak-tidak.

Aku selalu  mengingat pesan Mama untuk nggak mengharapkan yang aneh-aneh. Mencegah sakit hati lebih baik dari pada mengobati, begitulah pendapatnya. Mungkin benar juga, namun kali ini aku betul-betul tidak bisa mengontrol diri. Kacamata ber-frame hitam terus -muncul pada saat-saat aneh. Misal, saat aku sedang di kamar mandi dan mengguyur rambutku itu.

From: Gino

Oh, gitu. Hehe. Lo udah belajar buat ulangan hari Senin? Masih tiga hari lagi sih, tapi siapa tahu lo rajin belajar dari hari Jumat begini. J

Alisku naik geli saat aku membaca pesan tersebut. Diriku yang berotak lemot ini sudah pasrah dan sedikit tidak peduli dengan yang namanya ulangan. Seberapapun aku berusaha, nilaiku ya begitu-begitu saja. Tanpa kemajuan yang baik. Kalaupun ada perubahan, hal yang terjadi adalah penurunan nilai yang ekstrim. Mereka barangkali ingin terjun bebas dan mempermainkanku.

To: Gino

Belum, Gin. Lagipula aku sudah lumayan nyerah, aku nggak jago belajar dan nilaiku jelek mulu.

Aku mendesah mengingat guru-guru dan teman-teman menyebalkan. Sebetulnya, ini salahku sendiri yang nggak berani meminta bantuan. Mentalku memang payah dan gampang ciut, tidak berbeda jauh dari keong yang akan langsung bersembunyi dalam cangkangnya. Sejauh ini, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan. Terkadang, aku memang sudah kesal dan gemas dengan diriku. Tapi memikirkan ledekan dan omelan yang bisa jadi terjadi, aku lebih memilih untuk cari aman. Lagi-lagi, Gino memecahkan lamunanku dengan pesan singkatnya.

From: Gino

Gue juga nggak terlalu bisa belajar. Gimana kalau kita coba belajar bareng dan siapa tahu saling membantu?

Tanpa direncanakan, aku jadi membantingkan sosok dudukku di ranjang malang yang bagaikan trampolin pelampiasan. Aku tidak berpikir panjang saat aku mengetik ‘tentu saja’ dan langsung mengirimkannya. Sepertinya, hari-hariku akan sedikit membaik. Aku merasa senang mengetahui ada yang kunantikan di sekolah yang selalu kupersepsikan sebagai menjemukkan. Ternyata, perubahan dapat terjadi pada saat-saat yang tidak terduga. Walaupun aku belum mengetahui baik atau buruknya hal ini, setidaknya aku bisa menikmatinya terlebih dahulu.